Judul: WALAU LUKA ITU BENAR-BENAR DATANG
Aku suka wajahmu yang bingung…
“aku suka wajahmu yang bingung,” sudah pernah kubilang itu padamu. Dengan wajah manis dan senyum mengembang di bibirku.
“jahat..” itu juga yang selalu kau bilang, dengan bibir manyun yang dilanjutkan oleh senyum sumringah karena ternyata kau tahu bahwa aku hanya bermain-main saja denganmu.
Lalu kita berdua tertawa di koridor sekolah yang mulai sepi karena matahari hampir terbenam. Aku selalu bertanya, mengapa tawamu itu selalu tampak bahagia, apa yang ada dalam hatimu ketika kau tertawa ? mengapa kau selalu tampak lebih bahagia daripadaku ?
“Cita.. kamu kenapa..??” tanyamu.
Aku selalu terkejut bila ditanya seperti itu. Jangan kau mulai bertanya kepadaku, karena apa kau tahu, aku sedang memikirkanmu, “ya.. aku, gak apa-apa.. hmmm, bisakah kita pulang naik taksi saja, agar tak terlalu malam..”
Engkau mengangguk cepat dan selalu menampakkan senyuman termanismu padaku. Senyuman manis itu, bila kau gambar di wajahku, akan menjadi pahit, bukan ?
*
Mengapakah diriku selalu terluka
Mengapa pula luka itu selalu datang padaku
Mengapa kau tak pernah terluka
Akankah ada sedikit luka datang padamu..
Tapi,
Andai luka itu benar-benar datang padamu
Mungkin tetap aku yang akan lebih terluka..
Sejauh mana sebenarnya aku sudah mengenalmu, 2 tahun bukan waktu yang lama tapi juga bukan waktu yang sebentar. Dari awal aku mengenalmu, aku sudah melihat kegembiraan yang selalu kau bawa kepada setiap orang. Aku jadi ingin selalu menjadi orang yang kau bawakan kegembiraan itu. Semenjak itu hingga sekarang, kau masih saja tampak gembira dan aku jadi iri akan hal itu. Apalagi ketika dia hadir diantara kita.
“Cita..!!” dengan suaranya yang begitu khas, itu pertama kali dia memanggil namaku.
“ada apa..?”
“ehm.. kamu teman sekelasnya Nisa..??” mendengar namamu saat itu, entah mengapa hatiku selalu bangga, bangga bisa menjadi temanmu, yang dekat.
“iya..” jawabku dengan senyum terkembang.
“oh.. boleh minta nomor kamu..? oh ya, perkenalkan dulu, nama saya Putra..!” dia mengulurkan tangannya yang semu kecoklatan. Matanya bersinar dari balik kacamatanya ketika dia menyebutkan namanya, Putra.
Dia, Putra, lelaki yang menumbuhkan kebencian bahkan pada sahabatku sendiri. Jahat, ya..!!? siapa yang jahat sebenarnya, dia atau kamu, atau malah jadi aku yang jahat. Atau diantara kita terselip satu kejahatan yang awalnya kita tak tahu bentuknya seperti apa.
Dia, Putra, lelaki yang mencintaimu, lelaki yang kucintai, dalang dari semua kejahatan ini. Cinta itu, yang dia tumbuhkan padamu, dia layukan padaku.
Aku masih ingat ketika kau tiba-tiba datang padaku dengan wajah begitu berseri-seri, berlari tergesa, dan setelah sampai padaku, kau malah berputar-putar merasakan angin di sekitarmu. Beberapa menit aku memperhatikanmu, dengan raut muka yang mencerminkan ikut bahagia, tapi juga bingung, ada apa denganmu?
“Cita.. kamu tahu, aku sedang bahagia..!!”
“aku tahu, sejak kapan kau bersedih di depanku..?”
“tak pernah.. tahu kenapa aku bahagia..?”
“setiap hari kau bahagia..!”
“tapi ini beda, ini lebih bahagia dari hujan emas..”
“berlebihan…”
“Cita.. cinta itu tidak berlebihan..”
“jadi…??!!”
“mulai hari ini aku pacarnya Putra..!”
Dengan tegas, tawa bahagia, hati riang, kau katakan semua itu di depanku. Aku sudah tahu hari itu akan datang, tapi aku masih saja menyimpan semua ini di dalam hatiku. Membuat diriku sendiri menderita demi kebahagianmu.
*
Entah kenapa aku tak peduli dengan perasaanku sendiri. Entah apa yang membuatku selalu ingin menjaga perhiasan berhargamu, kebahagiaanmu. Aku selalu berpikir, ada apa dengan diriku, sampai aku begitu mengharapkan sebuah kebahagiaan yang datang dari dirimu.
Kau bukanlah seorang yang kucintai, kau bukan lelaki yang harusnya kucintai. Kita ini sama perempuan, maka dari itu kita menjadi sahabat. Sahabat macam apakah diriku ini, yang membenci sahabatnya sendiri hanya karena sebuah perasaan hina yang kubuat sempurna. Munafik!
Lalu aku mencoba untuk menjauh darimu, agar kata-katamu tak lagi sampai kehati, tapi kau terus mencoba meraihku kembali.
“Cita.. bicaralah..!” katamu dengan wajah cemasmu yang begitu menusukku. Aku tak mau dirimu begitu cemas padaku yang sebenarnya tak perlu untuk kau khawatirkan.
“Nisa.. biarkan aku sendiri..”
“sebenarnya ada apa denganmu..?”
Saat itu kau pergi menuruti kata-kataku untuk sendiri.
Lalu aku melihatmu dari jauh, dengan wajah sedihmu. Ketika itu, aku dapati diriku tak bisa lagi merasakan jejakku. Aku merasa mati melihatmu bersedih. Wajah itu, wajah yang dipenuhi kegembiraan, tiba-tiba hilang, dan aku tahu sumbernya adalah aku. Lalu akankah ku tega untuk terus membuatmu bersedih seperti itu, aku tak bisa, dan akhirnya daripada aku terluka karena melihatmu terluka, lebih baik aku terluka karena melihatmu bahagia.
“Nisa.. tersenyumlah,” pintaku.
Lalu kau tersenyum. Hatiku yang tersayat, perlahan terobati.
“maafkan aku, Nisa..!”
“tak apa, kau tahu Cita, awalnya aku ingin menangis ketika kau bilang kau ingin sendiri dan tak mau kutemani, tapi aku selalu ingat kata-katamu, ‘menangis tak akan pernah membawa kebahagiaan, dan kebahagiaan adalah satu-satunya yang kuinginkan’, dan aku tak menangis, karena aku selalu ingin kau bahagia..” setelah kau berkata seperti itu, kau memelukku. Jadi aku yang ingin menangis. Andai kau tahu saat itu juga, Nisa, kau telah membawa seluruh kebahagiaanku bersamamu. Karena itu, aku harus selalu bersamamu, agar kau tak jauh-jauh membawanya pergi. Walau tak langsung, aku masih bisa merasakannya.
*
Suatu hari, kau datang padaku dengan wajah muram. Tiba-tiba menangis di pangkuanku, tangisan pertama yang kau tumpahkan padaku. Yang kau sebut saat itu, hanya Putra.. Putra.. dan Putra..
“Cita.. Putra jahat..!!”
Mendengar nama itu kau sebut dan kata sifat di belakangnya. Sebelah hatiku tertawa, sebelah lagi marah. Benarkah masih ada cinta itu untuknya. Kau tak tahu aku mencintai Putra, kau tak tahu bagaimana perasaanku ketika kau bilang ‘Putra jahat!’ saat itu aku ingin membunuh seseorang, tapi aku tak tahu, haruskah dirimu yang ku bunuh, atau dia.
Besoknya, ku beranikan diri untuk menemui Putra, tak disangka, dia juga ingin bertemu denganku.
“Putra..!!” aku lebih dulu memanggil namanya, dengan segenap keberanian yang ada untuk menahan seluruh rasa cintaku padanya.
“eh.. Cita, aku baru mau menemui kamu..!”
Aku terkaget mendengarnya, semua hal yang ingin kukatakan padanya menjadi buyar, hanya karena beberapa kata keluar dari mulutnya, ya Tuhan, ternyata cinta itu masih ada. Beribu kali kukatakan pada diriku sendiri, kalau cinta itu bukan cinta yang sebenarnya, aku tak mungkin mencintai cinta sahabatku sendiri.
“aku mau minta maaf sama Nisa, aku ingin kamu mempertemukan aku dengannya, tolonglah.. dia tak mau menjawab telfonku, tak mau membaca suratku..” lanjutnya.
Dan aku mengangguk!! Apa itu adalah hal terbodoh yang kulakukan, aku menemui Putra untuk mengatakan padanya bahwa dia sudah menyakitimu, lalu habis-habisan memarahinya. Dan ternyata aku tak bisa. Aku ingin sekali menertawakan diriku sendiri saat itu. Cinta itu membuatku gila. Membuatku selalu menyakiti diriku sendiri untuk kebahagiaanmu. Mungkin untuk kebahagiaannya juga.
Saat aku mengatakan bahwa Putra ingin bertemu denganmu, kau tampakkan wajah marahmu. Kau tak pernah marah, apalagi padaku.
“Cita, kenapa kamu mau mempertemukanku dengannya, sebenarnya kau ada di pihak siapa..??” aku terkejut kau bertanya seperti itu. Aku di pihak siapa..? aku pun tak begitu tahu, aku terlalu bingung untuk memikirkannya.
“tentu saja aku berada di pihakmu..” kataku, tak tahu lagi apa yang harus kukatakan sebenarnya.
“Cita, apa kau tak mengerti seberapa besar kesalahannya padaku..?”
“kau bilang dia sudah memarahimu di depan umum, itu mungkin bisa diperbaiki, kan, Nisa..!” mulai lagi aku membela Putra. Tuhan, cinta ini membunuhku.
“bukan hanya itu…!”
“lalu apa…?”
“aku tak bisa bilang..!”
“kenapa..??”
“Cita..!!” kau tampak lelah hanya untuk memberitahukan sesuatu padaku, “.. Cita, pokoknya kamu jauhi Putra, Putra itu jahat..”
Lalu kau berlalu begitu saja dari hadapanku.
*
Putra tersenyum padaku, saat aku menghampirinya yang sedang berteduh dari hujan di depan sebuah kios. Dia tampak menggigil kedinginan karena hujan kali ini hampir menyerupai hujan es.
“terima kasih.. maaf, aku malah menghubungimu, karena kalau tak salah, rumahmu di dekat sini kan.?” kau bilang dengan suara khasmu.
“tak masalah, tapi darimana kau tahu rumahku..”
“hmm.. dari Nisa..”
“oh…”
Kami berjalan di bawah hujan menuju rumahku. Sesampainya disana, aku memberikannya handuk untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Aku memberinya secangkir teh hangat, lalu kita berbicara di ruang makan.
“Putra.. apa kau masih ingin Nisa kembali padamu..?” tanyaku saat itu, dengan segala kelemahan yang ku punyai.
“aku sangat ingin Nisa kembali padaku, tapi mau bagaimana lagi, mendengarkanmu pun dia sudah tak mau kan..?!”
“iya..”
“aku sangat mencintai Nisa..” Putra mengatakan hal itu, dengan kesedihan menghiasi wajahnya.
Aku ingin membuat Putra bahagia, di sisi lain, aku ingin membuatmu bahagia. Membuat Putra bahagia adalah mengembalikanmu padanya. Membuatmu bahagia adalah dengan meninggalkan semua hal tentang Putra.
Ada sekejap pikiran melintas di kepalaku. Bukankah ini baik untukku, ketika kau membenci Putra, dan kini Putra lebih dekat padaku. Bukankah ada begitu banyak peluang untukku. Hanya dengan beberapa usaha untuk membuat kau hilang dari pikiran Putra, mungkin aku bisa menjadi pengganti dirimu di hati Putra.
Kau pernah bilang padaku untuk menjauh dari Putra. Itu berarti kau tidak suka bila aku mencintainya. Tapi aku tak bisa, aku masih mencintainya, aku masih mengharapkan sesuatu dari dirinya.
Akh.. kau, begitu banyak kebencian yang kini merasuki diriku. Aku jadi benci dirimu yang seperti tak ingin melihatku bahagia.
*
“Nisa… apa kau masih tak mau bertemu dengan Putra..?” tanyaku sedikit memaksa.
Kau mendesah, “Cita, sudah berapa kali aku bilang, aku tak ingin lagi bertemu dengannya, aku puas dengan keputusanku, aku sudah tak mencintainya lagi, aku…”
“…dia masih mencintaimu, Nisa..”
“aku tak bisa..!”
“kenapa..??”
“aku tak bisa bilang…”
Aku lelah mengatakan ini semua padamu sebenarnya.
“kalau begitu, bolehkah aku bersamanya ? bolehkah aku mencintainya ?”
Akhirnya kalimat itu yang ku ucapkan. Aku sudah terlalu lelah menahan semua luka ini. Aku berhak pula mendapatkan kebahagiaanku.
“apa..?? Cita, sudah kubilang padamu untuk menjauh darinya kan..?” kau tampak begitu terkejut dan tak terima dengan apa yang telah ku ucapkan padamu.
“kau tahu, aku sudah bosan untuk selalu membuatmu bahagia, aku sudah bosan menanggung seluruh lukaku ini sendirian, aku terluka saat kau bersama Putra, karena aku mencintainya..” aku menangis saat itu, walau aku sudah mengatakan padamu mengapa aku terluka, luka itu bukannya terobati, malah makin menganga. Apalagi melihat kau menangis lebih histeris.
“Cita..!!! mengapa kau baru mengatakan ini sekarang, kalau aku tahu, aku tak akan pernah bersama dia,” ketika kau menangis, aku tak tahu apa yang menghunusku saat itu, pedang? Pisau? Belati? Mengapa aku jadi makin terluka setelah mengatakan semua lukaku yang kau sebabkan. Saat itu juga aku ingin mengatakan, ‘jangan menangis, Nisa.’ Kau hanya akan lebih membuatku terluka dengan tangisanmu.
“walaupun saat itu kau tahu apa yang kurasakan, apakah kau akan mengelak cintamu padanya..?”
“apapun akan kulakukan untukmu. Ya Tuhan, Cita..! kenapa kau harus mencintainya..?!”
“maksudmu..?”
“Putra itu, ingin memisahkanmu denganku, dia bilang, kau ini ingin memilikiku, kau mencintaiku, dia bilang kau ini menyukai sesama perempuan..”
Kau ingat, saat itu aku tertawa, aku tak percaya dengan apa yang kau katakan. Cinta ini membuatku buta.
“terserah kau mau tertawa atau menganggapku ini pembohong, saat Putra mengatakan hal itu, rasa cintaku padanya langsung hilang, aku tak bisa mendengar sahabat terbaikku dia hina seperti itu, di depan umum, dan aku tak memberitahumu karena aku takut kau terluka.. aku tak pernah ingin membuatku terluka, walau nyatanya aku membuatmu terluka sangat dalam, tapi itu karena aku tak tahu apa yang sebenarnya kau rasakan..”
Tuhan!! Apa yang harus kulakukan, saat itu kau tampak begitu putus asa untuk mengembalikan lagi perasaanku. Begitukah perasaanmu padaku ? kau juga tak ingin aku terluka ?
“Nisa, jangan menangis..!”
Hanya itu kata terakhir yang bisa ku ucapkan dalam percakapan kita saat itu. Aku hanya memelukmu. Perasaanku saat itu, darimana aku bisa mendapatkan lagi sahabat seperti dirimu. Cinta yang hina itu sudah membutakanku. Mulai saat itu, aku tak ingin kau terluka, dan juga tak akan pernah membiarkanmu membuatku terluka.
*
Nisa, maafkan aku karena pernah membencimu. Walau ketika aku membencimu, aku begitu terluka. Sampai saat ini aku tak pernah tahu apa yang membuatku begitu ingin kau bahagia, aku juga tak tahu apa yang membuatmu selalu ingin membuatku bahagia.
Sekarang kita tak bisa bertemu setiap hari, tapi itu lebih baik, agar orang-orang tak lagi berkata macam-macam tentang kita. Rencana kita saat ini, MENCARI CINTA. Walau kita terpisah jauh, tapi aku yakin kau bisa mendapatkan cinta itu. Yang pasti, kita tak akan lagi mencintai orang yang sama.
Nisa, kau adalah sahabat pertamaku yang selalu memberiku kebahagiaan. Terima kasih.
Desember, 2008
19.45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar